Minggu, 03 Januari 2010

Selamat Jalan, Gus ! I Loue U Full

Sang Pendobrak dari Jombang

Sahabat Nabi yang pertama kali melakukan penaklukan ke Andalusia
(Spanyol) bernama Abdurrahman Addakhil, atau Abdurrahman sang
pendobrak. Ini terjadi jauh sebelum pasukan Thariq bin Ziyad mendarat
di sebuah pantai berbukit yang kemudian disebut Jabal-thariq (kini
Jiblartar), untuk menyebarkan Islam di daratan Eropa. K.H. Wahid
Hasyim terkagum-kagum kepada sahabat Nabi tersebut, sehingga putra
sulungnya yang lahir pada 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang, itu
diberi nama Abdurrahman Addakhil.

Lalu, saat beranjak dewasa, nama ayahnya, yang mati muda, 37 (karena
kecelakaan mobil saat melakukan perjalanan Bandung-Jakarta bersama
sang putra sulung), diselipkan di belakang namanya, menjadi
Abdurrahman Wahid. Akrab dipanggil Gus Dur. Paman-pamannya biasa
memanggil "Durrahman". Konon, ia cucu kesayangan; sehingga, dalam
banyak cerita para murid kakeknya, si bocah Gus Dur acap berada di
pangkuan Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy'ari, sang pendiri NU, manakala
pendiri pesantren Tebuireng itu mengajar ilmu tafsir dan hadis, yang
memang jadi keahlian sang kakek.

Kenangan itu yang terus mengiang di benak Almaghfurlah K.H.R. As'ad
Syamsul Arifin; sehingga, walau Gus Dur sebagai ketua umum Tanfidziyah
PBNU acap bertindak nyleneh, mantan musytasyar a'am PBNU dari
Asembagus, Situbondo, itu tak berani memberikan sanksi administratif
dalam organisasi, misalnya, terhadap cucu kesayangan sang guru. Sebab,
Ta'limul Muta'allim - salah satu kitab kuning di pesantren -
mengajarkan, "Aku adalah sahaya bagi seorang (guru) yang telah
membimbingku, walau satu huruf." Kitab standar pesantren ini juga
menyebutkan, penghormatan santri tak cukup dilakukan hanya kepada sang
guru, terhadap anak-cucu - bahkan terhadap hewan peliharaannya
sekalipun - mesti dilakukan juga.

Sikap macam Kiai As'ad terhadap Gus Dur juga dilakukan ulama NU yang
lain. Bahkan, umat NU, yang jumlahnya puluhan juta, pun memperlakukan
hal serupa terhadap "Durrahman". Sebab studi antropologis yang
dilakukan Zamahsyari Dhofier menyimpulkan, seluruh pesantren terkenal
di Jawa dan Madura, kalau tidak terdiri dari para kerabat dan famili
pendiri NU tadi, ya pesantren-pesantren yang didirikan oleh para
muridnya. Maka, wajar bila Gus Dur dalam memimpin NU diibaratkan
seperti putra kiai nyleneh dalam pesantren besar yang bernama NU.
Sulit disalahkan, karena yang ada hanyalah mutlaknya "kebenaran".

Dengan modal kepercayaan kultural ini, Gus Dur pun mendobrak pelbagai
kemapanan dalam tradisi NU. Dari tradsisi taklid, diubahnya menjadi
cara berpikir kreatif (ijtihadi), pandangan keagamaan yang sektarian
diganti dengan wacana Islam inklusif. Bukan cuma itu, paham politik
yang cenderung mempertentangkan Islam dengan negara kebangsaan (nation
state), dicari titik temunya, sehingga model pamahaman Islam-nya yang
penuh muatan kultur lokal (pribumisasi Islam) sama sekali berbeda
dengan pelbagai gerakan Islam Indonesia yang bermazhab ke Timur
Tengah. Kata kuncinya, meminjam istilah Mohammad A.S. Hikam, adalah
dinamisasi atau revitalisasi khazanah Islam tradisional ahlussunnah
waljama'ah, dalam keterlibatannya dengan wacana modernitas. Dobrakan
atas paham keagamaan itu tak hanya bergaung di internal NU, melainkan
juga menguap keluar sehingga penggemar musik klasik ini acap disebut
pembaharu (bersama Cak Nur dan Munawir Syadzali) yang dikategorikan ke
dalam kelompok new modernist. Selesai?

Belum. Sebagai nakhoda, ia bawa NU ke alam yang berbau LSM, sangat
kritis terhadap pemerintah. Ia "meradang" saat ICMI muncul di awal
1990-an karena dalam anggapannya latar berdirinya organisasi ini
hanyalah titik temu antara pemerintahan Soeharto dan kalangan modernis
Islam yang saling mengkooptasi demi kepentingan sektariannya. Sebagai
antitesisnya, Gus Dur memimpin Forum Demokrasi bersama kalangan
nasionalis dan kaum minoritas, sambil berkata, "Saya tak mau masuk
ICMI, karena ingin terus bersama kalangan muslim kaki lima."

Dengan cara-cara yang sulit diduga, ia kini telah menjadi presiden.
Entah berapa miliar rupiah biaya tim sukses B.J. Habibie dan Megawati
untuk memperebutkan kursi presiden. Strategi, taktik, berikut jaringan
kerja di lapangan, pun telah disiapkan demikian canggih. Tetapi
mengapa dua tim itu gagal, dan yang menang justru Gus Dur, yang -
dengan tim Poros Tengah-nya macam Amien Rais, Fuad Bawazier, Alwi
Shihab, dan lain-lain - bisa dikatakan tak punya dana melimpah seperti
tim sukses lainnya?

Bagi warga NU, jawabannya gampang: Gus Dur itu wali, sebuah
mistifikasi politik yang mudah tumbuh subur di sana. Bahkan, suatu
ketika, Gus Mus - panggilan Akrab K.H. Mustafa Bisri - dengan nada
guyon bercerita, "Gus Dur itu bukan cuma wali. Tetapi, sudah menjadi
penyeleksi siapa yang wali dan bukan."

Namun, bagi mereka yang kurang mengenal dunia spiritual ala NU,
manuver politik Gus Dur itu disebutnya sebagai langkah yang jenius nan
licin. Saking licinnya, sampai ada yang mengibaratkannya sebagai
"belut yang tercebur ke dalam minyak pelumas".Ya, politik itu memang
penuh tipu daya. "Tanpa melakukan tipu daya, politik itu ibarat es
yang kering". Begitulah adagium yang kiranya cukup pas untuk
menggambarkan bagaimana langkah zig-zag politik Gus Dur hingga cucu
pendiri NU itu naik ke kursi presiden RI keempat.

0 komentar:

Posting Komentar

 
footer