Sabtu, 09 Januari 2010

Kesaksian Yahya Cholil Tsaquf
(Mantan Jubir Kepresidenan Gus Dur)
Kehilangan yang sesungguhnya telah terjadi dua belas tahun yang lalu, ketika suatu hari kamar mandi kantor PBNU, di Kramat Raya Jakarta, tak kunjung terbuka. Kamar mandi itu terkunci dari dalam dan Gus Dur berada di dalamnya. Orang-orang menggedor-gedor pintu, tak ada sahutan. Ketika akhirnya pintu dijebol, orang mendapati Gus dur tergeletak bersimbah darah muntahannya sendiri. Itu lah strokenya yang pertama dan paling dasyat, yang sungguh-sungguh merenggut kedigdayaan fisiknya.
Sebelum mushibah itu, Gus Dur adalah sosok "pendekar" yang nyaris tak terkalahkan. Aku yakin, seandainya yang menjadi presiden waktu itu adalah Gus Dur sebelum sakit, pastilah hari ini Indonesia sudah punya wajah yang lebih cerah dan lebih bersinar harapan.
Aku adalah pengagum berat Gus Dur sejak remaja. Ketika datang kesempatan bagiku menjadi salah seorang jurubicara presiden idolaku, saat itu lah pengalaman-pengalaman besar kualami. Inspirasi-inspirasi berebutan menjubeli kepala dan dadaku dari langkah-langkah presidenku yang brilliant.
Orang-orang mengecam kegemarannya berkeliling dunia yang dianggap kurang relevan dengan kepentingan Indonesia. Namun aku justru melihat daftar Negara-negara yang dikunjungi adalah identik dengan daftar undangan Konfrensi Asia-Afrika. Satu contoh, Brasil mengekspor sekian ratus ribu ton kedelai ke Amerika setiap tahunnya, sedangkan kita mengimpor lebih separuh jumlah itu dari Amerika pula. Presidenku datang ke Rio De Jeneiro ingin membeli lansung kedelai dari sumbernya tanpa melalui makelar Amerika. Presidenku rupanya sedang menempuh jalan menuju cakrawala yang dicita-citakan pendahulunya, yaitu kemerdekaan hakiki bagi manusia-manusia Indonesia.
Gus Dur mengikhtiarkan perjuangan itu dengan caranya sendiri. Bukan dengan agitasi politik, bukan dengan machtsforming, tapi dengan langkah-langkah taktis yang substansial, yang bagi banyak orang terlihat sebagai kontroversi, bagiku adalah cara cerdik menyiasati pertarungan melawan kekuatan-kekuatan besar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang terlampau berat untuk dihadapi secara lansung dan terang-terangan.
Tapi presidenku bertempur dalam kondisi sakit, seperti Panglima Besar Jendral Sudirman di hutan-hutan gerilyanya. Banyak orang belakangan bertanya-tanya, mengapa orangtua yang sakit-sakitan itu tak mau berhenti saja, beristirahat menghemat umurnya, ketimbang ngotot seolah terus-menerus mencari-cari posisi di tengah silang-sengkarut dunia yang memang sudah semrawut.
Saksikanlah, wahai bangsaku, ini lah orang yang terlalu mencintaimu, sehingga tak tahan walau sedetik pun meninggalkanmu. Ini lah orang yang begitu yakin dan determined akan cita-citanya, sehingga rasa sakit macam apa pun tak akan bisa menghentikannya. Selama napas masih hilir-mudik di paru-parunya, selama detak masih berdenyut di jantungnya, selama hayat masih di kandung badannya.
Kini Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah menyelimutkan kasihsayang paripurna bagi hamba Nya yang mulia ini. Selamat jalan, Gus! Semoga sesuadah ini segera tercurah pula kasihsayang Allah untuk bangsa ini, amiin…
(MISYKAT, edisi 56: januari 2010)

0 komentar:

Posting Komentar

 
footer