Rabu, 25 November 2009

Guruku, Sang Pengelana Suci 2

0 komentar
Walaupun sudah lewat 100 hari kepergiannya menempuh perjalanan akhirat tapi sorot-matanya yang tajam tapi teduh, volume suaranya yang lirih tapi tegas, nasehat-nasehat yang sederhana tapi mampu menembus batas sukma yang sedang dilanda kegelapan dan meneranginya dengan iman. Ah.., sosoknya memang terlalu jelas dan kuat di mataku.
Aku ingat suatu malam menjelang pagi, tepatnya jam 02.00 dini hari ketika aku dan dia (berdua saja) berjamaah sholat sunat tasbih, dan dia menyuruhku jadi imam, dan dia yang jadi makmum. Seusai sholat dia yang aku suruh baca do'a. Tanpa mengiyakan dia lansung menengadahkan tangan, dan mulai mendo'a "ya.. Allah.. ya..Robb.. hanya Engkau yang tahu keadaanku. Hanya Engkau. Aku pun tidak tahu keadaanku yang sebenarnya. Hanya Engkau yang tahu. Bila Kau menanyakan, di mana ilmu dan amalku? Maka dengan penuh kesadaran aku jawab, aku tidak tahu apa itu ilmu dan apa itu amal, yang aku tahu cuma satu Engkau Tuhanku Yang Mahakariim, Maharohmaan, Maharohiim..."
Guruku terus berdo'a tanpa lelah, tanpa henti sebab di dalam do'a dia dapatkan pengetahuan, kekuatan, kebahagiaan, dan semua kemurahan Tuhan. Sementara itu aku pun terus meng -amin- i do'a Guru tanpa lelah,tanpa henti sebab di dalam meng -amin- i do'a aku mendapatkan semua yang didapat Guru.
Tepat jam 03.00 dini hari, seusai do'a Guru berkata ke padaku, "Arya...Mulai saat ini bersabarlah dalam belajar bersabar dan belajar bersyukur sebab ke depan nanti hanya orang-orang yang sabar dan syukur saja yang bisa menjalani hidup. Ketahuilah, ujian yang dihadapi Indonesia-mu ini akan terus datang bertubi-tubi dari arah atas-bawah-kiri-kanan, bahkan ada yang tiba-tiba datang begitu saja tanpa arah. Ujian ini akan berlansung hingga tahun 2015 nanti. Saat itu lah Indonesia-mu akan mengalami jaman keemasan. Bila kamu tidak mempersiapkan diri mulai sekarang maka kamu tidak layak hidup pada jaman keemasan itu. Artinya, mati lebih baik bagimu."

Selasa, 24 November 2009

Guruku, Sang Pengelana Suci

2 komentar
Hari-harinya adalah berkelana dari satu tempat ke tempat lain. dari satu pos ke pos lain. selalu begitu. Padahal fisiknya semakin melemah, belum lagi deretan panjang daftar penyakit yang kini bergantung hidup-subur di tubuhnya. Dasar pengelana, tetap saja berkelana. Dia tidak hiraukan dirinya sendiri sebab hidup baginya adalah sebuah pengabdian. "kita adalah hamba Tuhan. Tuhan tidak akan pernah jadi hamba, sebaliknya hamba tidak akan menempati posisinya Tuhan. Tugas hamba cuma satu yaitu: menghamba atau mengabdi pada Tuhan". Begitu lah kalimat-kalimat yang sering keluar dari bibirnya yang selalu tersenyum penuh kasih.
Seminggu yang lalu, saat aku ada di salah satu pos-nya, aku sowan dan bersimpuh di hadapannya, dia berbisik-lirih, "anakku, dalam alQuran Allah memerintahkan :berkelanalah kamu semua di muka bumi ini (wa siiruu fil ardli). Karena itu lah gurumu ini tidak pernah berhenti berkelana, meski aku sangat sadar bila ternyata di tengah-tengah pengelanaanku yang panjang ini aku telah gagal menjadi pengelana seperti yang dikehendaki dan diridloi Allah Ta'ala". Saat mengucapkan bagian kalimat yang terakhir ini, suaranya terdengar parau dan bergetar hebat. Aku penasaran, perlahan-lahan aku angkat wajahku yang sejak tadi tertunduk ta'zhim padanya. Betapa terkejutnya aku, wajah Guru terlihat sangat pucat, dan kedua matanya bengkak-memerah menahan tangis dan kesedihan yang teramat dalam. Dadaku berdegup keras. Entahlah, aku yang biasanya tegar dan sulit menangis kini tak kuasa menahan derai airmata yang tiba-tiba saja datang bagai air bah.
Seminggu setelah pertemuanku dengan Guru, aku masih saja tak mengerti dibalik ucapan Guru. Aku merasa ada yang sengaja disembunyikan olehnya, tapi apa itu?! Entahlah... "Mas..., Mas Arya.... Bangun, Mas...!!" Joko, pembantuku menggoyang-goyang tubuhku. Eh.., ternyata aku ketiduran. "Ada apa ,Jok?" "anu, mas..., e...e..." "Ada apa sih? Ngomong yang jelas. Jangan bikin bingung!" sentakku. "Tuan Guru meninggal dunia." "hah!!! yang bener,Jok?!" sahutku tak percaya. "Bener, mas. Mas Haris baru saja ngabari lewat telphon."
Innaa lillah wa innaa ilaihi roji'uun, hanya kalimat itu yang bisa menghibur lara dan kesedihanku. Ternyata, ini lah maksud dawuh-dawuh Guru selama ini padaku. Aku sekarang faham, meski agak terlambat.
 
footer