Minggu, 25 Juli 2010

BENARKAH NU, LIBERAL ?

0 komentar
A. Pendahuluan
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia Organisasi ini berdiri pada 31 januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, ekonomi. Sebagai jam'iyyah sekaligus gerakan diniyyah Islamiyyah dan ijtima'iyyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai basis teologi atau dasar berakidah (Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya alQuran dan Sunnah saja tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi) dan menganut salah-satu dari empat madzhab (madzahibul arba'ah)sebagai pegangan dalam berfiqih.
Memahami NU sebagai jam'iyyah diniyyah (organisasi keagamaan) secara tepat, sesungguhnya belumlah cukup hanya dengan melihat dari sudut formal semenjak ia lahir, berikut pertumbuhan maupun perkembangannya hingga dewasa ini sebab jauh sebelum NU lahir dalam bentuk jam'iyyah (organisasi), terlebih dahulu berwujud jama'ah (community) yang terikat kuat oleh aktifitas sosial keagamaan yang mempunyai karakteristik tersendiri. Atau dengan kata lain, wujudnya NU sebagai organisasi keagamaan itu hanyalah sekedar sebagai penegasan formal dari mekanisme informal antar ulama dengan ulama, dan antar ulama dengan umat yang dipimpinnya.
Asumsi seperti ini dibenarkan oleh peristiwa sejarah saat Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, direspon oleh kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, dengan penolakan pembatasan bermazhab karena hal semacam ini dianggap sebagai upaya licik Pemerintah Saudi untuk menghancurkan warisan peradaban para ulama salafusshalihin. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925 Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari. K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out. 1
Didorong. oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan KEBEBASAN BERMADZHAB serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah. Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban Islam yang sangat berharga.
Berangkat dari sebuah komite (Komite Hijaz) dan berbagai bekal pengalaman berorganisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar (Rais Akbar hanya khusus untuk Hadhratissyekh KH.. Hasyim Asy'ari saja sebagai penghormatan atas jasa-jasa besar beliau, sedangkan yang lain hingga kini, cukup dengan sebutan Rais 'Amm)

B. Definisi Aswaja Ala NU
NU.menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah (Aswaja), sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya terbatas pada al-Qur'an dan as-sunnah saja, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: Imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi,Iimam Maliki,dan Imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang empat (4) di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Dari segi bahasa ahlussunnah berarti penganut sunnah Nabi sedangkan Ahlul Jama’ah berarti penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi. Karena itu, kaum "Ahlussunnah wal Jama’ah” adalah kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Kepercayaan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi secara terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan dan dirumuskan kembali dengan rapi oleh seorang ulama besar, yaitu Syeikh Abu al-Hasan al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun. 2
Menurut Dr. Jalal Muhammad Musa dalam karyanya Nasyi’ah al-Asy’âriyyah wa Tathawwurihâ, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) mengandung dua konotasi, ‘âmm (umum/global) dan khâshsh (spesifik). Dalam makna ‘âmm, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembanding Syi’ah, termasuk Mu’tazilah dan kelompok lainnya, sedangkan makna khâshsh-nya adalah kelompok Asy’ariyah (pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dalam pemikiran ilmu kalam.
Di luar pengertian di atas, KH. Said Aqil Siradj memberikan pengeretian lain. Menurutnya, Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keberagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah Wal Jama'ah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah Wal Jama'ah bukan sebagai madzhab, melainkan hanyalah sebagai manhajul fikri (cara berfikir tertentu) yang digariskan oleh para sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatife netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun demikian bukan berarti bahwa ASWAJA sebagai Manhajul Fikri adalah periode yang bebas dari sosial-kultural dan sosial-politik yang melingkupinya. 3
NU juga telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi paham Aswaja, yaitu: Tawassuth (moderat), Tasammuh (toleran), Tawazzun (serasi dan seimbang), I'tidal (adil dan tegas), dan Amar Makruf- Nahi Munkar (menyeru kepada kebajikan serta mencegah kemunkaran secara makruf)
Aswaja juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai minoritas dan perbedaan. Oleh karenanya, NU sebagai penganut faham Aswaja lebih apresiatif terhadap paradigma demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah ummat merupakan keniscayaan. Karena itu harus disikapi secara arif dengan mengedepankan musyawarah. Tidak boleh disikapi secara ekstrem dan radikal hanya karena keyakinan atas kebenaran sepihak. Sikap yang seperti ini lah yang menjadikan NU mampu menyajikan Islam yang rahmatan lil 'alamin, ramah, toleran, dan tidak ekstrim

C. Definisi Liberal
Liberal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: bersifat bebas, berpandangan bebas (luas dan terbuka). Sedangkan Charles Kurzman, sarjana sosiologi dari Universitas North Carolina dan penulis buku Wacana Islam Liberal (Paramadina, Jakarta, 2001), tidak mendefinisikan istilah tersebut secara lugas. Istilah liberal atau liberalisme, yang menurut kamus Britanica adalah filosofi politik yang menekankan kebebasan individu dan peran negara dalam menjaga hak-hak setiap warga negara. (26 desember 2001, Tempo On Line).

Menurut Arkoun, secara terminology mazhab liberalisme adalah aliran hukum yang sangat menekankan penggunaan rasio (akal). Aliran ini tak terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap makna hakikinya. Makna ini dianggap sebagai ruh agama Islam, tujuan yang terkandung dalam hukum syara' (maqashid al-syar'iyyah). Dengan kata lain, mazhab ini berusaha mendobrak kebekuan pemikiran Islam, sekaligus merupakan fiqih baru yang dapat menjawab masalah-masalah baru akibat perubahan yang terjadi di masyarakat.
Hal senada diungkapkan Leonard Binder bahwa kaum liberal berusaha menangkap esensi wahyu, yaitu makna wahyu di luar arti lahiriyyah dari kata-kata. Mereka meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan makna dari dalam konteks.
Sejarah munculnya mazhab liberal ini dapat dilacak pada mazhab ahli ra'yi di kalangan sahabat Nabi, yakni dua pendekatan yang berbeda yang dilakukan oleh para sahabat Rasul Muhammad SAW, yang selanjutnya melahirkan dua mazhab besar di kalangan sahabat-sahabat, yaitu: 'Alawiyy dan 'Umariyy, yang akhirnya mewariskan ke kita sebagai kaum tekstualis di satu pihak dan kaum kontekstualis pada pihak lain. 4
Ulil Abshar Abdalla, dalam tulisannya di Republika, tertanggal 11-5-2003 (Agama, Akal, dan Kebebasan –Tentang Makna Liberal dalam Islam Liberal-), mengatakan:
Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah liberal dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah; sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga.........
...........Jika manusia telah dikosongkan dari motif, dan otonominya sebagai subyek moral telah disangkal, apakah yang tersisa dari manusia semacam itu selain "jasad" yang pasif. Nabi pernah bersaba, "ad dinu huwal 'aql, la dina liman la 'aqla lahu", agama adalah akal, tidak ada agama bagi mereka yang tak mempunyai akal.........Oleh sebab itu, kebebasan manusia adalah perkara prinsip yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Banyak orang mengira bahwa kebebasan semacam itu menyebabkan manusia memberontak kepada agama dan wahyu. Ada yang mengira bahwa dengan membatasi kebebasan itu, mereka telah melindungi wahyu. Ini jelas pandangan yang salah. Sebab, begitu kebebasan manusia dibatasi, maka dimensi-dimensi terdalam yang subtil dari wahyu akan sulit diungkapkan oleh manusia. Sebab, untuk memahami kompleksitas wahyu, diperlukan akal manusia yang matang. Sebuah hadits qudsi yang populer di kalangan sufi menyatakan, "Aku (Allah) adalah 'kanzun makhfiyy?, harta karun yang tersembunyi. Aku ingin diketahui, maka Aku ciptakan manusia." Hadis ini memberikan suatu penegasan yang penting bahwa manusia diciptakan untuk "menggali" dimensi-dimensi yang tersembunyi dalam wahyu dan kebenaran Tuhan. Hal itu tak mungkin terjadi jika tidak mengandaikan adanya manusia sebagai subyek yang bebas dan otonom. …….Kesimpulan yang hendak saya tuju dari ulasan yang agak "ruwet" dan panjang ini adalah bahwa dengan membubuhkan kata "liberal" pada Islam, sesunggunya saya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah "niat" atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri. Dan sebaiknya kata liberal dalam "Islam liberal" dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata "liberal" di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap-sikap permisif yang melawan kecenderungan "intrinsik" dalam akal manusia itu sendiri. 5

D. Penutup
Bila kita cermati alasan mendasar Nahdlatul Ulama (NU) didirikan adalah dalam rangka merespon asas tunggal yang diterapkan Pemerintah Saudi Arabiah untuk menganut faham Wahabi secara mutlak, yang kemudian direspon dengan penolakan oleh Ulama pesantren dengan menganut faham kebebasan bermazhab yang tersimpul-aplikatif dalam format madzhahibul arba'ah. Selanjutnya lahirlah Nahdlatul Ulama (NU), di mana sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunnah Wal Jama'ah sebagai basis teologi dengan merujuk pada rumusan Imam Abul Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidzi, dan Mazahibul Arba'ah sebagai pegangan dalam berfiqih. Atau dengan kata lain mengikuti sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah saja, tetapi juga mengoptimalkan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik, serta tidak mudah menjatuhkan vonis kufur, sesat, musyrik kepada orang per orang dan atau lembaga yang karena satu dan lain sebab belum dapat memurnikan aqidah semurni- murninya.
Bertolak dari rumusan sederhana di atas bisa dimengerti bila dalam perjalanannya kemudian di NU terjadi dinamika pemikiran yang sangat signifikan. Apakah ini sesuatu yang negatif atau justru positif? Tentu saja, bagi penganut faham tekstualis akan mengangap ini sebagai sesuatu yang mengada-ada, nyleneh, negatif, bid'ah, atau bahkan sesat dan menyesatkan yang harus dihentikan atau bila perlu dibumi-hanguskan. Tetapi bagi kaum kontekstualis, ini dianggap sebagai lompatan pemikiran yang luar-biasa (dari tradisionalis, modernis, ke liberal) dan positif tentunya sebab mereka berpandangan bahwa dinamika pemikiran seperti ini memang tidak bisa dihindari, pun sebenarnya telah dilalui pula oleh para sahabat Nabi (bahkan di ketika Baginda Rasul masih berada di tengah-tengah mereka. Kemudian diterus-kembangkan oleh para 'ulama 'ushul klasik, misal sekelas Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) yang masyhur sebagai ahlurro'yi , yang selanjutnya kini diapresiasi-kembangkan dan dilestarikan oleh NU.
Realita yang takterbantah terjadi dalam LBM (Lembaga Bahtsul Masail) di NU saat ini, yaitu di komisi Masailul Maudlu'iyyah telah terjadi diskusi yang berbeda dari sebelum-sebelumnya (cenderung liberal), karena hampir semua peserta diskusi sudah tidak lagi mengutip kitab-kitab klasik lagi bahkan sebagai rujukan, tetapi mereka lansung berargumen dengan alQuran, alHadits, Atsar, Qawa'idul 'Ushuliyyah, kitab-kitab karya ulama-ulama kontenporer, serta pendekatan ilmu-ilmu modern. Padahal pola pembahasan seperti telah tersebut di kalangan NU dahulunya dianggap sesat dan menyesatkan. 6
Berangkat dari gagasan: "Mempertahankan tradisi lama yang masih relevan, dan responsif terhadap gagasan baru yang lebih baik dan lebih relevan", mengisyaratkan bahwa agar hukum Islam layak menjadi hukum publik yang rahmatan lil'alamin, yang tidak partisan, dan demi tegaknya keadilan yang bersifat universal, maka penyempurnaan terhadap kaidah-kidah Ushul Fiqih menjadi suatu keniscayaan.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya al-Ijtihad al-Syar'iyyah al-Islamiyyah (Kuwait: Darl Qalam, 1985, hal., 286), mengatakan: Adalah suatu hal yang berlebihan dan juga merupakan sikap pura-pura tidak mengenal realita, apabila seseorang mengatakan bahwa buku-buku lama telah memuat jawaban-jawaban atas setiap persoalan yang baru muncul. Setiap zaman itu memiliki problematika dan kebutuhan yang senantiasa muncul. Bumi berputar, cakrawala bergerak, dunia berjalan, dan detik jam pun tidak pernah berhenti bedetak.
Ada ungkapan yang menarik sebagai ketidak-setujuhan dari KH. Sahal Mahfudh saat Muktamar (1984) di Situbondo, di mana ketika itu muktamirin hanya memakai kutubul mu'tabarah karya ahlul madzahib saja, dan menolak kitab-kitab di luar ahlul madzaahib, yakni kitab-kitab seperti karya Ibnu Taimiyyah atau Ibnul Qayyim. Dengan tegas beliau mengatakan (meskipun para Kyai yang lain banyak yang tidak sependapat), " khudz maa shafaa wa da' maa kadar , ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh. Jangan hanya gara-gara dalam bab tawassul kitab ini mengecamnya, lantas kitab tulisan mereka seluruhnya tidak boleh dipakai." 7

Pernyataan mBah Sahal di atas bisa dipahami bahwa dengan melegitimasi hanya pada kriteria kutubul mu'tabarah saja, maka berarti mengunggulkan pendapat imam tertentu, dan merendahkan pendapat imam lain. Hal ini jelas menyalahi qaidah, "al-ijtihad laa yunqadhu bil ijtihad, suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain." Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Bukankah muara fiqih adalah terciptanya mashlahatul ummah dan keadilan sosial di tengah masyarakat, yang dengan demikian kita tidak bisa mengenyampingkan begitu saja nilai-nilai kejujuran dan kebebasan.


إن أريد إلا الإصلاح ما ستطعت . و ما توفيق إلا با لله . عليه توكلت
و إليه أنيب . و الله أعلم با لصواب .


Daftar Pustaka:

1. Choirul Anam, Pertumbuhan Dan Perkembangan NU, (Jatayu Sala, 1985), h. 65
2. Choirul Anam, Pertumbuhan Dan Perkembangan NU, (Jatayu Sala, 1985), h. 143
3. KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta LKPSM,
1999),h. 22
4. Jalaluddin Rahmat, Kontekstualitas Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina,
1995), h. 286
5. http://www.virtualfriends.net/article/articleview.cfm?AID=29183
6. Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999,M), Studi Problematika
Aktual Hukum Islam, (Diantama 2005), h. 9
7. ibis, h. 7
 
footer