Selasa, 24 November 2009

Guruku, Sang Pengelana Suci

Hari-harinya adalah berkelana dari satu tempat ke tempat lain. dari satu pos ke pos lain. selalu begitu. Padahal fisiknya semakin melemah, belum lagi deretan panjang daftar penyakit yang kini bergantung hidup-subur di tubuhnya. Dasar pengelana, tetap saja berkelana. Dia tidak hiraukan dirinya sendiri sebab hidup baginya adalah sebuah pengabdian. "kita adalah hamba Tuhan. Tuhan tidak akan pernah jadi hamba, sebaliknya hamba tidak akan menempati posisinya Tuhan. Tugas hamba cuma satu yaitu: menghamba atau mengabdi pada Tuhan". Begitu lah kalimat-kalimat yang sering keluar dari bibirnya yang selalu tersenyum penuh kasih.
Seminggu yang lalu, saat aku ada di salah satu pos-nya, aku sowan dan bersimpuh di hadapannya, dia berbisik-lirih, "anakku, dalam alQuran Allah memerintahkan :berkelanalah kamu semua di muka bumi ini (wa siiruu fil ardli). Karena itu lah gurumu ini tidak pernah berhenti berkelana, meski aku sangat sadar bila ternyata di tengah-tengah pengelanaanku yang panjang ini aku telah gagal menjadi pengelana seperti yang dikehendaki dan diridloi Allah Ta'ala". Saat mengucapkan bagian kalimat yang terakhir ini, suaranya terdengar parau dan bergetar hebat. Aku penasaran, perlahan-lahan aku angkat wajahku yang sejak tadi tertunduk ta'zhim padanya. Betapa terkejutnya aku, wajah Guru terlihat sangat pucat, dan kedua matanya bengkak-memerah menahan tangis dan kesedihan yang teramat dalam. Dadaku berdegup keras. Entahlah, aku yang biasanya tegar dan sulit menangis kini tak kuasa menahan derai airmata yang tiba-tiba saja datang bagai air bah.
Seminggu setelah pertemuanku dengan Guru, aku masih saja tak mengerti dibalik ucapan Guru. Aku merasa ada yang sengaja disembunyikan olehnya, tapi apa itu?! Entahlah... "Mas..., Mas Arya.... Bangun, Mas...!!" Joko, pembantuku menggoyang-goyang tubuhku. Eh.., ternyata aku ketiduran. "Ada apa ,Jok?" "anu, mas..., e...e..." "Ada apa sih? Ngomong yang jelas. Jangan bikin bingung!" sentakku. "Tuan Guru meninggal dunia." "hah!!! yang bener,Jok?!" sahutku tak percaya. "Bener, mas. Mas Haris baru saja ngabari lewat telphon."
Innaa lillah wa innaa ilaihi roji'uun, hanya kalimat itu yang bisa menghibur lara dan kesedihanku. Ternyata, ini lah maksud dawuh-dawuh Guru selama ini padaku. Aku sekarang faham, meski agak terlambat.

2 komentar:

achmad halimi hasyim mengatakan...

Guruku,Sang Pengelana Suci:Achmad Halimi Hasyim

achmad halimi hasyim mengatakan...

Cerita di atas bersifat fiksi-reality. Semoga bermanfaat untuk penulis dan juga pembaca semua,amiin...

Posting Komentar

 
footer